counters

Selasa, 02 Juli 2019

Penyebab Runtuuhnya Turki Utsmani


Kemunduran Turki Utsmani terjadi sejak pemerintahan Sultan Muhammad III (1594). Namun, sebagai negara yang besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat, karena masih ada usaha para Sultan dalam menyelamatkan negara, tetapi keadaan ini sangat mengganggu pola kehidupan Daulah Utsmaniyah. Setelah itu pemerintahannya dilanjutkan oleh 19 orang Sultan Turki Utsmani sampai berdirinya Republik Turki. Namun, kekuasaan para sultan tersebut tidak sebesar dan sekuat sultan-sultan sebelumnya.

Dalam 88 tahun berikutnya (1595-1683) Turki Utsmani tidak hanya menderita kerugian teritorial, tetapi daerah penaklukan mereka diambil alih. Pada saat di bawah pimpinan Sultan Murad IV, Kesultanan tampaknya menghidupkan kembali kemegahan yang telah dicapai di bawah Sultan Sulaiman. Namun, penampilan eksternal ini menipu, benih disintegrasi menyerang struktur dalam negara dengan hasil yang menjadi nyata dalam abad berikutnya. Bencana melanda Daulah Utsmaniyah antara 1683 dan 1699 atau dalam 16 tahun, yang diikuti kegagalan upaya Turki Utsmani kedua untuk menyerbu Wina.

Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Ekonomi yang Semakin Melemah

Keberhasilan Portugal dan Spanyol untuk menemukan jalan perdagangan dunia ke Asia, telah menjadi titik awal kebangkitan Eropa. Mereka berhasil merebut rute, pangsa pasar dan sumber bahan baku perdagangan dunia. Usaha mereka semakin mengakar kuat dengan keberhasilan mereka menjajah dan memonopoli kekayaan dunia Islam yang sangat kaya. Hal ini mengakibatkan kemiskinan dan kemunduran ekonomi yang berat di dunia Islam.

Ketika Sultan Abdul Aziz menjadi Sultan Turki Utsmani pada tahun 1861, para sultan terdahulu telah meninggalkan hutang Negara sebanyak 15 juta Pound Steling. Pada tahun itu pula, utang Negara membengkak menjadi 103 juta Franc.

Pada tahun 1870-1880, Daulah Utsmaniyah mengalami krisis ekonomi berkepanjangan, untuk menutupinya Turki Utsmani harus berhutang kepada Inggris dimana Inggris mensyaratkan pendirian bank-bank Inggris di Istanbul dan lembaga pengawas keuangan Inggris.

Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Kelemahan Sains dan Agama

Dalam belenggu kehidupan akidah Murji’ah dan tarekat Sufi, dinilai wajar bila umat Islam mengalami kemunduran dan keterbelakangan yang parah dalam aspek agama dan sains. Tentang kemunduran bidang teknologi dan industri, Imam al-Ghazi dalam Nahr adz-Dzahab fi Tarikhi Halb menyebutkan, ketika telegraf pertama kali masuk kota Aleppo tahun 1278 H, masyarakat mengangapnya sebagai setan.

Faktor Kemunduran Turki Utsmani: Kelemahan Sosial dan Moral

Dekadensi moral yang sangat parah telah menggejala di seantero Dunia Islam. Penyalahgunaan harta wakaf untuk kepentingan memperkaya para pegawai wakaf, menjamurnya warung-warung khamar, rumah-rumah judi, minuman keras, dan pelacuran—Husain bin Muhammad Nashif bahkan menyebutkan kota suci Makkah telah ramai dengan warung-warung minuman keras dan pelacuran—, tenggelamnya masyarakat dalam musik dan nyanyian, dan aneka ragam kebejatan moral lainnya menjadi pemandangan umum di tengah masyarakat.

Berbagai akhlak mulia sudah dianggap sebagai sebuah tradisi kuno, kering dari nilai-nilai keimanan, dan setiap saat bisa ditinggalkan dengan alasan kemajuan zaman. Jilbab yang menjadi busana wanita Muslimah, misalnya, telah dianggap sebagai sekedar budaya setempat, dan manakala penjajah salibis Eropa datang dengan emansipasi wanitanya, dengan serta merta banyak yang melepaskan jilbabnya. (Ali bin Bukhait az-Zahrani, Al-Inhirafat, hlm. 798 dst)

Ustadz Abu al-Hasan Ali al-Hasani an-Nadawi juga menyebutkan bahwa industri pekapalan baru masuk ke Turki pada abad XVI M, percetakan, alat-alat medis, dan sekolah-sekolah militer baru masuk pada abad XVII M. pada abad-abad tersebut, Daulah Utsmaniyah sangat asing dari industri, teknologi, dan sains sehingga menganggap segala penemuan baru di bidang teknologi dan industri sebagai sihir. (Ali bin Bukhait az-Zahrani, Al-Inhirafat, hlm. 783-783)

Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Khaldun dan Al Maqrizi


Ibnu Khaldun

Ibnu Kholdun memiliki nama lengkap Abdurrahman Abu Zaid Waliuddin Ibn Kholdun, lahir di Tunisia pada awal Ramadhan tahun 732 H atau 27 Mei 1332 M. Keluarganya memiliki darah keturunan Hadramaut dan bersambung nasabnya hingga salah satu sahabat Nabi yang terkenal yaitu Wail bin Hujr. Salah satu cucu Wail, Kholid bin Utsman pernah ikut ke Andalusia (Spanyol) bersama tentara Yaman yang bergabung dalam pasukan ekspedisi, namun sesampainya di spanyol nama Kholid berubah menjadi Kholdun.

Pemikiran Ekonomi Ibnu Kholdun

·         Keseimbangan Harga

Dalam bukunya al-Muqaddimah, Ibn Khaldun menulis secara khusus satu bab berjudul “Harga-Harga di Kota”.[2] Ia membagi jenis barang menjadi dua jenis, yakni barang kebutuhan pokok dan barang mewah. Menurutnya, bila suatu kota berkembang dan selanjutnya populasinya bertambah banyak (kota besar), maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok akan mendapatkan prioritas. Akibatnya penawaran meningkat dan ini berarti turunnya harga.  Adapun untuk barang mewah, permintaannya akan meningkat sejalan dengan berkembangnya kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah meningkat.

·         Uang

Menurut Ibn Khaldun, kekayaan suatu Negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang, tetapi oleh tingkat produksi dan neraca pembayaran positif negara tersebut. Bisa saja satu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya. Namun bila hal itu bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, uang yang melimpah itu tidak ada nilainya. Hal ini sangat berbeda dengan upaya mencari keuntungan dengan memutar uang di bursa.

Al Maqrizi

Al maqrizi mempunyai nama lengkap Taqiyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Ali bin Abdul Qadir al Husaini. Ia merupakan murid dari Ibnu kholdun, lahir di desa Barjuwan Kairo 766 H. Al maqrizi sangat mencintai ilmu, berbagai macam ilmu dipelajarinya seperti fiqih, hadits, dan sejarah dari ulama-ulama terkemuka pada masanya. Spesialisasinya adalah uang dan inflasi. Interaksinya dengan Ibnu Kholdun dimulai ketika Abu al Iqtishad (bapak ekonomi) ini tinggal di Kairo dan menjabat sebagai hakim agung (qadi al qudah) madzhab maliki pada masa pemerintahan sultan Barquq.


Pemikiran Ekonomi Islam Al Maqrizi

·         Konsep Uang
         Menurut Al-Maqrizi, baik pada masa sebelum maupun setelah kedatangan Islam, mata uang digunakan oleh umat manusia untuk menentukan berbagai harga barang dan biaya tenaga kerja. Untuk mencapai tujuan ini, mata uang yang dipakai hanya terdiri dari emas dan perak. Berbagai fakta sejarah tersebut, menurut Al-Maqrizi, mengindikasikan bahwa mata uang yang dapat diterima sebagai standar nilai, baik menurut hukum, logika, maupun tradisi, hanya yang terdiri dari emas dan perak. Oleh karena itu, mata uang yang menggunakan bahan selain kedua logam ini tidak layak sebagai mata uang. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa keberadaan fulus tetap diperlukan sebagai alat tukar terhadap barang-barang yang tidak signifikan dan untuk berbagai biaya kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Dengan kata lain, penggunaan fulus hanya diizinkan dalam berbagai transaksi yang berskala kecil. Penggunaan mata uang emas dan perak tidak serta merta menghilangkan inflasi dalam perekonomian karena inflasi juga dapat terjadi akibat faktor alam dan tindakan sewenang-wenang dari penguasa.

·         Teori Inflasi
Menurut Al-Maqrizi, inflasi terjadi ketika harga-harga secara umum mengalami kenaikan dan berlangsung terus-menerus. Al-Maqrizi membagi Inflasi menjadi dua yatu Inflasi akibat berkurangnya persediaan barang(natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi jenis pertama ini juga terjadi di masa Rasulullah dan khulafaur Rasyidin, yaitu karena kekeringan dan pengangguran. Sementara untuk jenis inflasi yang kedua, menurut Al-Maqrizi sama dengan penyebab yang mendasari terjadinya krisis di Mesir, yakni: korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk, pajak berlebihan yang memberatkan petani, dan jumlah fulus yang berlebihan. Ini jelas lebih komprehensif dengan yang dikemukakan oleh Milton Friedman (bapaknya kaum monetaris) yang menganggap bahwa inflasi hanyalah semacam fenomena moneter.



Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Asy-Syatibi


Tokoh bernama lengkap Abu Ishaq bin Musa bin Muhammad Al-Lakhmi Al-Gharnati Al-Syatibi ini banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu, namun  ia  lebih  dikenal  sebagai bapak ushul fiqih. Sejumlah  pemikiran ekonominya pun banyak dipengaruhi oleh Imam Al Ghazali, seperti konsep maqashid syariah dan pemungutan pajak.

Mengenai konsep maqashid  syariah, Syatibi mengatakan bahwa tujuannya adalah  mencapai kemaslahahan umat. Hal ini menyangkut pemenuhan kebutuhan manusia yang  dapat terwujud jika memenuhi lima unsur pokok kehidupan. Unsur-unsur pokok kehidupan yang dipaparkan oleh Syatibi sama dengan Al Ghazali. Baca: Manajemen Kinerja Berbasis Maqasid Syariah

Dalam Buku Jejak Rekam Ekonomi Islami (Karnaen Perwataatmadja dan Anis Byarwati, 2008) disebutkan bahwa kemaslahahan manusia dapat terwujud bila lima unsur pokok kehidupan terpelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Dalam kerangka ini Syatibi membagi maqashid menjadi tiga tingkatan, yaitu dharuriyat, hajiyat, tahsiniyah.

Dharuriyat merupakan landasan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia. Jika dharuriyat tidak terpenuhi maka kehidupan manusia tidak akan seimbang. Sementara hajiyat dimaksudkan untuk memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhan lima unsur pokok manusia, dan tahsiniyah menjadi penghias dari kehidupan manusia. 

Terkait pemungutan  pajak, Syatibi juga memiliki pandangan sama dengan Ghazali,  dimana pemeliharaan kepentingan umum adalah tanggung jawab bersama masyarakat.  Setiap pemungutan pajak pun harus dilihat dari maslahahnya. Ia berpendapat dalam kondisi tidak mampu melaksanakannya, masyarakat bisa menyumbangkan sebagian  kekayaannya melalui baitul mal. Menurut Syatibi, pemerintah juga dapat memungut pajak-pajak baru terhadap rakyatnya meski pajak-pajak tersebut belum  dikenal sebelumnya dalam sejarah Islam.







Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Ibnu Taymiyah


Ibnu taimiyyah yang bernama lengkap Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim lahir dikota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M (10 Rabiul awwal 661 H). ia berasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
        
  Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menamatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadits, fiqih, matematika dan filsafat, serta  menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibnu Taimiyah berjumlah 200 orang, diantarannya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-khoir, Ibn Abi Al-Yusr, dan Al- Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.
        
  Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata. Ketika kondisi menginginkannya, tanpa ragu-ragu ia turut serta dalam dunia politik dan urusan public. Dengan kata lain, keistimewaan diri Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada kepiawaiannya dalam menulis dan berpidato, tetapi juga mencakup keberaniannya dalam berlaga dimedan perang. Beberapa buah karya pemikiran Ibnu Taimiyah adalah:

Harga yang Adil
           
Konsep harga yang adil pada hakekatnya telah ada dan digunakan sejak awal kehadiran islam. Alqur’an sendiri sangat menekankan keadilan dalam setiap aspek kehidupan umat manusia. Oleh karena itu , adalah hal yang wajar jika keadilan juga diwujudkan dalam aktivitas pasar, khususnya harga. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah Saw menggolongkan riba sebagai penjualan yang terlalu mahal yang melebihi kepercayaan para konsumen.

Ibnu Taimiyah tampaknya merupakan orang yangpertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali menggunakan dua istilah, yakni kompensasi yang sama (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsaman al –mitsl).  Ia menyatakan “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara dan inilah esensi keadilan (nafs Al-adl).
 Ia juga membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang, serta harga yang adil dan disukai. Tujuan harga yang adil adalah untuk memberikan panduan bagi para penguasa dalam mengembangkan kehidupan ekonomi.

Konsep Upah yang Adil

Ibnu Taimiah mengacu pada tingkat harga yang berlaku di pasar tenaga kerja dan menggunakan istilah upah yang setara. Ia menjelaskan bahwa upa yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual atau sewa, harga yang telah diketahui akan diperlakukan sebaga harga yang setara.


Konsep Laba yang Adil
           
Ibnu Taimiyah mendefinisikan laba yang adil sebagai laba yang normal yang secara umum diperoeh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidak lazim, bersifat eksploitatif dengan memanfaatkan ketidakpedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Ia menjelaskan bahwa seseorang yang memperoleh barang untuk mendapatkan pemasukan dan memperdagangkannya di kemudian hari diizinkan melakukan hal tersebut. Namun, ia tidak boleh mengenakan keuntungan terhadap orang-orang miskin yang lebih tinggi daripada yang sedang berlaku, dan seharusnya tidak menaikka harga terhadap mereka yang sedng sangat membutuhkan.

Mekanisme Pasar
            
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tantang bagaimana dalam suatu pasar bebas, harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Naik turunnya harga tidak selalu disebabkan oleh tindakan tidak adil dari sebagian orang yang terlibat transaksi. Bisa jadi disebabkan oleh penawaran yang menurun akibat inflasi produksi, penurunan jumlah impor barang-barang yang diminta atau juga tekanan pasar. Jika penawaran terhadap barang meningkat sedangkan penawaran menurun, harga tersebt akan naik. Begitu pula sebaliknya. Kelangkaan dan melimpahnya barang mungkin disebabkan oleh tindakan yang adil atau mungkin juga tindakan yang tidak adil.




Senin, 01 Juli 2019

Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Al-Ghazali


Al-Ghazali terlahir dengan nama lengkap Abu Hamid Ahmad ibn Muhammad al-Ghazali at-Thusi, juga dijuluki dengan gelar Hujjah al-Islam. Lahir pada tahun 450 H/1058 M di Tus (sekarang Meshed), sebuah kota kecil di daerah Khurasan (sekarang Iran). Ayahnya bekerja sebagai pemintal benang wol dan menjual hasil prodiksinya sendiri ke pasar-pasar di sekitar tempat tinggalnya. Karena ayahnya penjual benang, maka ia diberi nama panggilan Ghazali, yang dalam bahasa Arab berarti “pembuat benang”. Abu Hamid Al-Ghazali terkenal di Barat sebagai Al-Ghazel, merupakan salah satu pemikir besar Islam.

Sejak muda, Al-Ghazali sangat antusias terhadap ilmu pengetahuan. Ia pertama-tama belajar bahasa Arab dan fiqh di kota Tus, kemudian pergi ke kota Jurjan untuk belajar dasar-dasar Ushul Fiqh. Pada tahun 483 H (1090 M), ia di angkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya dilaksanakan dengan sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama.

pemikiran ekonomi Al-Ghazali didasarkan pada pendekatan tasawuf, karena pada  masa hidupnya, orang-orang kaya berkuasa dan sarat prestise sulit menerima pendekatan fiqh dan filosofis yang mempercayainya Yaum al-Hisab (hari pembalasan). Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab  Ihya ‘Ulum al-din,al-Mustasfa,Mizan Al-‘Amal, dan al-Tibr al-Masbuk fi Nasihat al-Muluk.

Al-Ghazali dalam bukunya Ihya ‘Ulum Ad-Diin jus III, hal 291, menyebutkan “hakikat dunia” yang terdiri atas 3 unsur, yaitu benda-benda (materi), adanya bagian manusia, dan pembangunan. Ia mengatakan, “ketahuilah, bahwa dunia ibarat dari adanya benda-benda(materi), adanya bagian masing-masing dunia, dan perlunya masing-masing manusia, dan perlunya masing-masing manusia sibuk membangun. Inilah tiga unsure yang diperlukan. Sebagian orang menduga bahwa dunia dapat berdiri dengan salah satu unsure itu, padahal bukanlah demikian.

Unsur utama yang dikemukakan Al-Ghazali ialah perlu adanya  materi bagi hidup manusia di dunia ini. Kemudian disusul unsure kedua, yaitu masing-masing orang memiliki bagian dari segala materi itu. Lalu unsure terakhir yang lebih penting, ialah manusia sibuk mengadakan pembangunan. Ketiganya tidak boleh dipisahkan, harus saling mengisi, dan saling berhubungan.

Pada bagian lain diterangkan bahwa manusia sering lalai dan mempermainkan unsure-unsur itu, sehingga diperlukan adanya peraturan untuk memelihara dunia sebaik-baiknya. Al-Ghazali mengataka, “akan tetapi, karena kelalaian dan kejahilan manusia, Tuhan menjadikan peraturan dalam Negara dan kepentingan untuk rakyat. Bahkan, semua urusan dunia diberi peraturan karena kelalaian dan pemikiran yang rendah itu. Kalau semua orang berpikiran sadar dan mempunyai kemauan, baik tentulah semuanya menjadi orang-orang zuhud, orang-orang suci di dunia ini. Kalau tidak demikian, terlantarlah segala jalan prekonomian dan menjadi rusaklah semua manusia,  termasuk kaum zuhud yang suci itu.”

Lalu Al-Ghazali mengajukan suatu teori saling ketergantungan yang di zaman kita ini dikenal dengan inter-dependence, “Setiap manusia, dalam kebutuhan hidupnya, saling bergantung satu sama lain. Kaum produsen yang menghasilkan bahan makanan di desa memerlukan alat-alat industry yang dihasilkan oleh pabrik di kota, dan keduanya memerlukan kaum pedagang akan mengusahakan tukar-menukar barang-barang yang dibutuhkan oleh masing-masing pihak. Para konsumen memerlukan barang-barang dari pihak produsen. Mereka menjadi produsen karena menghasilkan macam-macam barang-barang yang dihasilkan oleh orang lain.”

Itulah sebabnya, Al-Ghazali menyebutkan, demi kepetingan ekonomi, janganlah semua orang menjadi zuhud, orang suci yang akan menjauhi barang-barang kebutuhan duniawi, baik sebagai penghasilan maupun sebagai pemakai. Karena pekerjaan duniawi itu melalaikan manusia dan menjahilkan mereka, perlu adanya peraturan untuk menjaga agar tidak terjadi pelanggaran hak masing-masing, baik peraturan yang datangnya dari perintaah ataupun timbul dari kesadaran dalam pergaulan (masyarakat) terutama peraturan yang datangnya dari Tuhan.

Pemikiran sosio ekonomi al-Ghazali berakar dari sebuah konsep yang dia sebut sebagai “fungsi kesejahteraan sosial islam”. Tema yang menjadi pangkal tolak seluruh karyanya dalam konsep maslahat atau kesejahteraan sosial atau utulitas (kebaikan bersama), yakni sebuah konsep yang mencakup semua aktivitas manusia dan membuat kaitan yang erat antara individu dengan masyarakat. Seorang poenulis menyatakan bahwa Al-Ghazali telah menemukan sebuah konsep fungsi kesejahteraan sosial yang sulit diruntuhkan dan yang telah dirindukan oleh para ekonomi kontemporer (modern). al- Ghazali mengidentifikasikan semua masalah baik yang berupa masalih (utilitas,manfaat), maupun mafasid (disutilitas, kerusakan) dalam meningkatkan kesejahteraan sosial. Selanjutnya,mengidentifikasikan fungsi sosial dalam kerangka hierarki kebutuhan individu dan sosial.

Al-Ghazali mengidentiifikasikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam kerangka sebuah hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartite, yakni kebutuhan (daruriat),kesenangan atau kenyamanan (hajat), dan kemewahan (tahsinaat). Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan ordinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap barang-barang eksternal dan kebutuhan tehadap barang-barang psikis.

Disamping itu, Al-Ghazali memandang perkembangan ekonomi sebagai bagian dari tugas-tugas  kewajiban sosial (fard al-kifayah) yang sudah di tetapkan Allah: jika hal-hal ini tidak dipenuhi, kehidupan dunia akan runtuh dan kemanusiaan akan binasa. Ia menegaskan bahwa aktivitas ekonomi harus dilakukan secaraefisien karena merupakan bagian dari pemenuhan tugas keagamaan seseorang. Selanjutnya ia jugamengidentifikasikan tiga alasan mengapa seseorang harus melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi yaitu,pertama, untuk mencukupi kebutuhan hidup yang bersangkutan;kedua, untuk mensejahterakan keluarga;dan ketiga,untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Menurutnya, tidak terpenuhinya tiga alasan tersebut ini akan dipersalahkan oleh agama.

Al-Ghazali menyatakan bahwa pendapatan dan kekayaan seseorang berasal dari tiga sumber, yaitu pendapatan melalui tenaga individual,  laba perdagangan dan pendapatan karena nasib baik. Contoh dari sumber ketiga adalah pendapatan melalui warisan, menemukan harta terpendam atau mendapat hadiah. Namun, ia menandaskan bahwa berbagai sumber pendapatan tersebut harus diperoleh secara sah dan tidak melanggar hukum agama.

Ia bersikap kritis terhadap keadilan yang dipaksakan dalam hal pendapatan dan kekayaan. Selama memungkinkan, pembagian kekayaan harus dilakukan secara suka rela, yang lebih di motivasi oleh kewajiban moral agama terhadap sesama manusia daripada melaliu kekuasaan negara-walaupun kondisi memerlukan pendapat tersebut.

Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Yahya Bin Umar


Yahya bin Umar merupakan salah satu fuqaha mazhab Maliki. Ulama yang bernama lengkap Abu Bakar Yahya bin Umar bin Yusuf Al Kannani Al Andalusi ini lahir pada tahun 213 H. dan dibesarkan di Kordova, Spanyol. Seperti para cendekiawan terdahulu, ia berkelana ke berbagai negeri untuk menuntut ilmu. Pada mulanya, ia singgah di Mesir dan berguru kepada para pemuka sahabat Abdullahbin Wahab Al-Maliki dan Ibn Al-Qasim. Setelah itu, ia pindah ke Hijaz dan berguru, di antaranya, kepada Abu Mus’ab Az-Zuhri.

Akhirnya, Yahya bin Umar menetap di Qairuwan, Afrika, dan menyempurnakan pendidikannya kepada seorang ahli ilmu faraid dan hisab, Abu Zakaria Yahya bin Sulaiman Al-Farisi. Dalam perkembangan selanjutnya, ia menjadi pengajar di Jami’ Al-Qairuwan.

Pada masa hidupnya ini, terjadi konflik yang menajam anatar fuqaha Malikiyah dengan fuqaha Hanafiyah yang dipicu oleh persaingan memperebutkan pengaruh dalam pemerintahan. Yahya bin Umar terpaksa pergi dari Qairuwan dan menetap di Sausah ketika Ibnu ‘Abdun, yang berusaha menyingkirkan para ulama penentangnya, baik dengan cara memenjarakan maupun membunuh, atau menjabat qadi di negeri itu. Setelah Ibnu ‘Abdun turun  dari jabatannya, Ibrahim bin Ahmad Al-Aglabi menawarkan jabatan qadi kepada Yahya bin Umar. Namun, ia menolaknya dan memilitetpa tinggal di Sausah serta mengajar di Jami’ Al-Sabt hingga akhir hayatnya. Yahya bin Umar wafat pada tahun 289 H.(901 M.).

Kitab Ahkam al Suq

Semasa hidupnya, di samping aktif mengajar, Yahya bin Umar juga banyak menghasilkan karya tulis hingga mencapai 40 juz.[1] Di anatara beberapa karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muntakhabah fi Ikhtishar al Mustakhrijah fi al fiqh al Maliki dan kitab Ahkam al Suq.

Kitab ahkam al suq yang berasala dari benua afrika pada abad ketiga hijriyah ini merupakan kitab pertama di Dunia Islam yang khusus membahas hisbah dan berbagai hukum pasar, satu penyajian materi yang berbeda dari pembahasan–pembahasan fiqh pada umumnya, salah satu hal yang memengaruhinya adalah situasi kota Qairuwan, tempat yahya bin umar menghabiskan bagian terpenting masa hidupnya. Pada saat itu, kota tersebut telah memiliki institusi pasar yang permanen sejak tahun 155 H. dan para penguasanya, mulai dari masa Yazid bin Hatim Al Muhibli hingga sebelum masa Ja’far al Manshur, sangat memerhatikan keberadaan institusi pasar. Bahkan, pada tahun 234 H., Qanun, penguasa lembaga peradilan kota tersebut, mengangkat seorang hakim yang khusus menangani permasalah-permasalahan pasar. Dengan demikian, pada masa Yahya bin Umar, kota Qairuwan telah memiliki dua keistimawaan, yaitu:

1.   Keberadaan institusi pasar mendapat perhatian khusus dan pengaturan yang memadai dari para penguasa.

2.    Dalam lembaga peradilan, terdapat seorang hakim yang khusus menangani berbagai permasalahan pasar.

Tentang kitab Ahkam al Suq, Yahya bin Umar menyebutkan bahwa penulisan kitab ini dilatarbelakangi oleh dua persoalan mendasar, yaitu, pertama, hukum syara’ tentang perbedaan kesatuan timbangan dan takaran perdagangan dalam satu wilayah, kedua: hukum syara’ tentang harga gandum yang tidak terkendali akibat pemberlakuaan liberalisasi harga, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan kemudaratan bagi para konsumen. Dengan demikian, kitan Ahkam al Suq sebenarnya merupakan penjelasan dari jawaban kedua persoalan tersebut.

Konsep Pemikiran Ekonomi Islam Al Mawardi


Nama lengkap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan Ali Ibn Muhammad bin Habib al-Bagdhadi, yang lebih dikenal dengan nama al-Mawardi. Ia lahir di basrah pada tahun 364 H/974 M. Beberapa waktu kemudian ia bersama orangtuanya pindah ke baghdad dan disana ia dibesarkan.

Al-Mawardi hidup pada masa pemerintahan dua khalifah: Al-Qadir Billah (380-422 H) dan Al-Qa’imu Billah. Masa kehidupan Al-Mawardi ditandai dengan suasana dan kondisi disintegrasi politik dalam pemerintahan Daulat Bani Abbas. Pada masa itu, Baghdad yang merupakan pusat pemerintahan Bani Abbas tidak mampu membendung arus keinginan daerah-daerah yang dikuasainya untuk melepaskan diri dari Bani Abbas dan membentuk daerah otonom. Ini akhirnya memunculkan dinasti-dinasti kecil yang merdeka dan tidak mau tunduk pada kekuasaan Bani Abbas.

Al-mawardi seorang pemikir Islam yang terkenal pada masanya. Yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Ia juga dikenal sebagai tokoh terkemuka Mazhab Syafi’i dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya pada Dinasti Abbasiyah. Selain sebagai pemikir Islam yang ahli di bidang fiqh, sastrawan, politikus dan tokoh terkemuka, ia juga dikenal sebagai penulis yang sangat produktif.

Al-Mawardi dengan Ilmu yang dimilikinya, ia memulai karirnya sebagai penasehat hukum dan kemudian menjadi hakim di berbagai daerah. Prestasinya melambung naik sehingga ia dipercaya menjadi hakim di Ustawa sebuah kota di Nisapur. Selanjutnya pada tahun 429 H, oleh Khlifak Qasim Billah ia diberi gelar dengan Aqdhatul Qudhat”. Setelah berpindah dari satu kota kekota lain sebagai hakim, artinya ia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapatkan kedudukan yang terhormat pada pemerintahan khalifah Qadir.

Pemikiran Ekonomi

Pada dasarnya, pemikiran ekonomi al-Mawardi tersebut paling tidak pada tiga buah karya tulisannya, yaitu kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah. Dalam kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din, ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama, yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industry. Dalam kitab al-hawi, salah satu bagiannya, al-Mawardi secara khusus membahas tentang Mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab. Dalam kitab al-Ahkam As-Sulthaniyyah, ia banyak menguraikan tentang system pemerintahan dan administrasi agama islam, seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya, berbagai lembaga Negara, penerimaan dan pengeluaran Negara, serta Institusi Hibah.

Dalam kitabnya al-Ahkam As-Sulthaniyyah, al-Mawardi menempatkan pembahasan ekonomi dan keuangan Negara secara khusus pada bab 11,12, dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta, sedekah, ghanimah, serta harta jizyah dan Kharaj.

Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukan bahwa al-Mawardi membahas masalah-masalah keuanagan dengan cara yang lebih sistematis dan rumit. Sumbangan utama al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembenaan pajak tanbahan dan dibolehkannya peminjaman publik.

Negara dan Aktivitas Ekonomi

Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran Negara dalam kehidupan ekonomi. Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya. Permasalahan inipun tidak luput dari perhatian Negara islam. Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah (kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukanya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.

Dalam perspektif ekonomi, pernytaan Al-Mawardi ini berarti bahwa Negara memiliki peran aktif demi trealisasinya tujuan material dan sepiritual. Ia menjadi kewajiban moral bagi bangsa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama, yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian seperti para pemikir muslim sebelumnya, al-Mawardi memandang bahwa dalam islam pemenuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi, melainkan moral dan agama.

Selanjutnya al-mawardi berpendapat bahwa Negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum. Menurutnya,

“ Jika hidup dikota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum, atau rusaknya tembok kota, maka Negara harus bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan, jika tidak memiliki dana, Negara harus memnemukan jalan untuk memperolehnya”.